Sabtu, 11 September 2010

Usut Tuntas Aktor Pengusul Referendum

0 komentar
SEPARATIS PAPUA
Usut Tuntas Aktor Pengusul Referendum


Yorris Raweyai, Anggota Komisi I DPR (Fraksi Partai Golkar).
Jumat, 20 Agustus 2010

JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah didesak lebih serius mencermati siapa aktor-aktor di balik tuntutan pengembalian otonomi khusus (otsus), serta usulan referendum bagi rakyat Papua yang digelar masyarakat Papua Juni dan Juli lalu.

Demikian kumpulan pendapat yang dikemukakan pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, anggota Komisi I DPR Yorris Raweyai (Fraksi Partai Golkar) dan Ramadhan Pohan, serta Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR M Jafar Hafsah, yang disampaikan secara terpisah, di Jakarta, kemarin.

Menurut Siti, masyarakat kecil kebanyakan sebetulnya tidak begitu paham dengan referendum tersebut. Sekelompok elite politiklah yang sebenarnya bermain dengan membangun jejaring baik di pusat kekuasaan maupun jejaring internasional (LSM-LSM asing).

"Pemerintah harus tegas terhadap gerakan-gerakan seperti itu. Langkah awal Kementerian Dalam Negeri harus terus berkoordinasi dengan instansi terkait dalam konteks keamanan. Sebab, masalah ini bisa menjadi api dalam sekam," ujarnya di Jakarta, kemarin.

Beberapa waktu lalu, ribuan masyarakat Papua yang dikoordinasi oleh Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu (FDRPB) bergerak mendesak DPR Papua melaksanakan sidang paripurna guna menindaklanjuti aksi demo tanggal 18 Juni 2010 dalam rangka menyerahkan hasil musyawarah masyarakat Papua. Tuntutannya adalah mengembalikan otsus kepada pemerintah sekaligus menuntut referendum.

Di lain pihak, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Yorris Raweyai, meminta pemerintah mengintensifkan perhatian terhadap penduduk yang hidup di wilayah perbatasan maupun di pulau-pulau terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Dalam sembilan tahun terakhir, perhatian pemerintah terhadap kawasan perbatasan belum maksimal. Sebab itu, kami dari Komisi I meminta perhatian itu kembali dimaksimalkan agar kasus-kasus yang berpotensi merusak kedaulatan NKRI tidak terulang," ujar Yorris kepada Suara Karya di Jakarta, Kamis (19/8) malam.

Menurut Yorris, ada empat komponen yang harus diperhatikan pemerintah untuk mempertahankan dan menguatkan bingkai NKRI, yakni perwujudan kesejahteraan rakyat, peningkatan kesehatan, perbaikan pendidikan dan pembangunan infrastruktur desa.

"Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus. UU ini juga diadopsi untuk pemeliharaan kawasan perbatasan dalam konteks perhatian pemerintah terhadap warga negaranya," kata Yorris.

Terkait otonomi khusus Papua, Yorris menjelaskan, DPR telah membentuk tim evaluasi otonomi khusus Papua. Tim tersebut hingga kini masih bekerja menyelesaikan tugas-tugasnya. "Untuk sementara, hasil yang kami lihat bahwa pemerintah harus mengintensifkan perhatian terhadap Papua," ujarnya.

Sementara itu, di tempat terpisah, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Jafar Hafsah menilai, Pemerintah Indonesia harus mengintensifkan komunikasi dengan masyarakat Papua. Hal tersebut dianggap sangat penting dilakukan agar masyarakat Papua ikut merasa memiliki Papua sebagai bagian dari NKRI.

Selain itu, menurut Jafar, Pemerintah Indonesia juga harus menyinergikan kekuatan, fungsi, dan tugas TNI berdasarkan koridor operasi nonperang.

Dia menjelaskan, berdasarkan data yang diperoleh Komisi I, tidak ada desakan referendum dari kelompok tertentu, tapi hal ini dikhawatirkan muncul dari pihak "luar" yang punya kepentingan terhadap Papua maupun yang tidak menghendaki soliditas masyarakat Indonesia dalam bingkai NKRI.

"Kita sudah meninjau ke sana, tidak ada itu bahwa permintaan masyarakat di sana yang minta referendum. Isu yang ada selama ini maupun penyebaran SMS itu dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, dan kami (DPR-Red) bersedia untuk menjamin tidak ada referendum," katanya.

Jafar juga meminta agar masyarakat Indonesia yang berada di pulau-pulau terluar maupun yang berada di perbatasan untuk memberikan atensinya terhadap koridor NKRI. "Mungkin isu referendum papua bisa dijadikan pelajaran untuk memperkukuh NKRI," katanya.

Hal senada juga disampaikan oleh anggota Komisi I yang membidangi masalah politik luar negeri, pertahanan, komunikasi, dan informasi, Ramadhan Pohan.

Ramadhan mengatakan, persoalan Papua adalah masalah yang sangat rawan dan harus dilakukan pendekatan secara komprehensif.

Dia menyebutkan, pola gerakan separatis masyarakat Papua saat ini terpecah dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah kubu radikal, yakni majelis rakyat Papua (MRP) yang mematok target kemerdekaan sebagai harga mati.

Sementara kelompok kedua lebih "moderat". MRP yang masuk kubu ini justru tidak menginginkan Papua terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Untuk itu perlu pendekatan yang komprehensif," katanya.

Dia menuturkan, potensi separatisme itulah yang saat ini menjadi perhatian serius Komisi I DPR. Selain dipicu oleh eskalasi teror yang makin meningkat akhir-akhir ini, persoalan ekonomi juga menjadi sorotan utama para wakil rakyat di Senayan.

Karena itulah, Ramadhan Pohan mengingatkan agar kebijakan otonomi khusus benar-benar diterapkan secara konsisten. Ia juga mengimbau pemerintah agar memberi perhatian lebih pada masyarakat Papua, baik dalam hal peningkatan kesejahteraan mereka, layanan pendidikan, kesehatan, pembagian "kue" kekuasaan yang lebih berimbang, maupun dalam hal penegakan hukum.

"Apa pun pilihannya, harus diakui bahwa sampai sekarang masih ada masalah serius di Papua. Harus diakui bahwa Papua masih sangat kurang pembangunannya. Papua masih terbelakang dibanding provinsi-provinsi lain di Indonesia," kata Pohan.

Pohan menyarankan, penanganan masalah separatisme hendaknya tidak sampai menggunakan kekerasan. Pemerintah harus mengedepankan pendekatan soft power atau penyelesaian secara dialogis, bukan dengan menggunakan senjata.

Seperti diketahui, sekitar dua ribu warga Papua menggelar aksi unjuk rasa di halaman gedung DPR Papua di Jalan Samratulangi, Jayapura, Papua, 18 Juni lalu.

Sepanjang melakukan aksinya, massa terus meneriakkan "Papua Merdeka" dan "Referendum". Warga Papua merasa otonomi khusus yang telah diberlakukan sejak tahun 2001 itu belum diimplementasikan maksimal.

Dalam melakukan aksi unjuk rasa, sebagian warga Papua menggunakan pakaian adat. (M Kardeni/Rully/Tri H/Feber S)

Source: www.suarakarya-online.com

0 komentar:

Posting Komentar