Minggu, 12 September 2010

OTONOMI DAERAH PAPUA BARAT (1-5), KOMPAS

1 komentar
OTONOMI DAERAH PAPUA BARAT (1)

Sekadar Menabur Ikan di Kepala Burung
Selasa, 23 Februari 2010 | 03:03 WIB

Oleh Edna C Pattisina dan Ichwan Susanto

Mendarat di Bandar Udara Rendani, Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat, kami langsung disambut jalan lebar dan mulus. Aroma pembangunan terasa kental. Di sekeliling perbukitan Sowi kini ditumbuhi bangunan beton yang menjejali areal hutan itu. Ibu kota di Kepala Burung itu tampak menggeliat. Edna C Pattisina dan Ichwan Susanto.

Masuk ke dalam kota, tidak hanya bank-bank nasional, seperti Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank BNI, yang gagah berdiri; jaringan hotel internasional, seperti Swiss Bellhotel, pun terlihat mentereng. Plang berukuran besar restoran siap saji Kentucky Fried Chicken langsung menarik perhatian.

Julius Lois, Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia Provinsi Papua Barat Bidang Sarana, Prasarana, dan Real Estate, menyatakan, tiga tahun belakangan ini, Papua Barat berkembang pesat. Pembangunan infrastruktur sebagai sarana penting untuk akses ke wilayah-wilayah terpencil menjadi prioritas.

Hal itu, di antaranya, terlihat dari peningkatan jumlah kendaraan. Pada 2008, di Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat ada 58.012 kendaraan, 47.735 di antaranya adalah motor. ”Salah satu showroom motor bercerita, mereka bisa jual 200 motor per bulan. Padahal, ada lima showroom di kota Manokwari,” kata Julius.

Pembangunan infrastruktur memang cukup besar. Berdasarkan data dari BPS, pada 2008, panjang jalan di Papua Barat mencapai 5.400 kilometer. Angka ini merupakan kenaikan sebesar 280 persen dibandingkan 2005 saat panjang jalan baru mencapai 1.950 kilometer.

Pemikiran bahwa pembukaan jalan darat menjadi prioritas karena akan menyelesaikan masalah keterisolasian rakyat Papua di pedalaman menjadi salah satu misi utama sejak otonomi khusus efektif diaplikasikan pada 2002 di seluruh tanah Papua. Setelah Papua Barat resmi mendapatkan status otonomi khusus 2008, hal itu tetap menjadi prioritas.

Gubernur Papua Barat Abraham Atururi menyampaikan hal itu saat presentasi di depan Badan Anggaran DPR, Kamis (11/2). Salah satu terobosan yang dilakukan pada 2009 adalah membuka jalan darat antara Manokwari dan Sorong yang membentang sejauh 600 km atau setara dengan Semarang-Jakarta.

Sampai di sini kita bisa optimistis, pembangunan infrastruktur di Papua Barat tampaknya berjalan meyakinkan. Dana sebesar Rp 21,443 triliun, yang merupakan dana otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat sepanjang 2002-2008, agaknya menjadi modal efektif untuk menggelar pelayanan bagi masyarakat. Begitu juga dengan dana otsus untuk Papua Barat tahun 2009 sebesar Rp 1,118 triliun ditambah alokasi khusus Rp 600 miliar khusus untuk infrastruktur.

Nasib warga asli

Sayang, ketika kita melangkah sedikit lebih dalam lagi, kenyataan tidak semulus permukaan jalan tadi. Keberpihakan terhadap orang asli Papua di instansi nonpemerintah masih tampak kurang. Lihat saja, ketika kami memasuki Bank Mandiri dan BRI, sekilas hampir tidak tampak kasir beretnis Papua. Di Pasar Wosi, yang merupakan pasar tradisional, mama-mama menggelar hasil bumi dari ladangnya dua hari sekali di jalan dengan beralas karung plastik. Adapun kios-kios dikuasai pedagang dari luar.

Yusnidar, pedagang asal Makassar, mengaku sudah empat tahun menyewa kios dari warga Papua seharga Rp 400.000 per bulan. Dari hasil penjualan bahan-bahan pokok, ia mengantongi modal untuk kembali ke Makassar dan membuka bisnis baru di sana. Cara Yusnidar berdagang sederhana. Dari agen yang juga berasal dari Surabaya atau Makassar, Yusnidar membeli bawang merah dan bawang putih seharga Rp 15.000 per kilogram. Ia menjualnya lagi di pasar dengan harga Rp 22.000.

Kiki, orang Solo yang sejak usia 2 tahun ada di Papua ikut orangtua bertransmigrasi, menjual 36 telur ayam yang dibelinya dari Surabaya seharga Rp 36.000. Harga itu pernah melonjak sampai Rp 60.000 gara-gara kapal putih, sebutan untuk kapal Pelni berkapasitas 2.000-3.000 penumpang, tidak bersandar karena naik dok.

Kadir, pria Bugis yang ikut kakaknya ke Manokwari, sudah tiga tahun berjualan ayam potong. Ia menjual ayam dari Surabaya seharga Rp 30.000 per ekor, sementara harga ayam dari Manokwari yang banyak diternakkan warga transmigran harganya Rp 50.000 karena harga pakan ternak yang mahal.

Bandingkan dengan Benediktila Kocu, warga suku Ayamaru Sorong, yang seminggu tiga hari menjual hasil ladangnya di pasar. Setiap hari berjualan dari pukul 06.00 hingga sore hari, ia bisa mendapatkan uang Rp 150.000-Rp 200.000. Barang-barang yang ia jual berupa setumpuk duku atau seukuran satu tangkup tangan yang dijualnya Rp 10.000 setumpuk, sepuluh kacang panjang yang diikat seharga Rp 3.000 per ikat, serta sirih yang dijual dengan harga Rp 2.000-Rp 10.000 per tumpuk. Pada hari-hari lain, Benekdiktila berladang di kawasan Sowi yang berjarak sekitar 6 km dari Manokwari. Walau sudah lebih dari 30 tahun berladang, baru beberapa tahun terakhir ini Benediktila menjual dagangannya ke pasar.

Budaya barter dan pola memungut masyarakat asli Papua ini harus berhadapan dengan arus kapitalisme yang terlatih. Warga Papua asli masih gagap dalam logika dagang. Bagi mereka, hasil hari ini adalah untuk hari ini. Kalau dulu tukar-menukar dilakukan langsung, kini ada mata uang sebagai alat tukar antara. Namun, jangan dulu bicara soal persaingan, inventory, perhitungan untung rugi, atau tindakan memupuk modal. ”Mereka tidak biasa dengan persaingan,” kata Julius Lois.

Julius Lois menangkap insting ekonomi masyarakat asli Papua belum kuat. Dalam segi bisnis konstruksi yang pada awal tulisan disebutkan tengah meningkat pesat, misalnya, kontraktor-kontraktor besar justru berasal dari luar Papua. Pengalaman Julius, yang juga seorang pengusaha kontraktor, secanggih-canggihnya pengusaha konstruksi Papua hanya bisa melakukan perbaikan saluran. Itu pun dengan pengawasan dan pelatihan yang terus-menerus.

Beberapa usaha pernah dilakukan, seperti pendampingan yang disertai pemberian modal usaha, seperti yang pernah dilakukan Universitas Papua dan Organisasi Buruh Internasional (ILO). Menurut Julius, pernah diadakan proyek pendampingan bagi warga Papua asli yang berjualan es buah atau berdagang pinang. Namun, jumlahnya tentu tidak signifikan dibandingkan dengan jumlah penduduk Papua Barat yang 702.000 orang.

Untuk itu, ia melihat perlunya tindakan afirmatif, seperti edukasi yang dilakukan oleh para pengusaha untuk mendidik warga Papua. Banyak potensi yang belum digali, seperti peternakan sapi dan ayam, bahkan bebek yang masih minim peminatnya di Papua Barat.

Masalah mentalitas pada masyarakat dengan pola ekonomi yang pragmatis ini tidak hanya berakibat pada kemampuan kompetisi bisnis yang rendah. Bahkan, dana otsus disambut masyarakat sebagai ikan yang harus dihabiskan, bukan kail untuk dipergunakan mencari ikan lagi dan lagi.

Ketua Dewan Adat Papua Manokwari Barnabas Mandacan, saat ditanya soal pelaksanaan otonomi khusus, menekankan pemerataan dan penambahan pembagian dana tunai kepada masyarakat lewat program Rencana Strategis Pengembangan Kampung (Respek). Pada 2009, program ini membagikan Rp 100 juta ke setiap kampung. Masyarakat mengharapkan pembagian ini sampai ke tangan mereka secara tunai.

Walaupun dana itu ujung- ujungnya untuk konsumsi semata, Gubernur Atururi menganggap program itu krusial. ”Kalau tidak, orang-orang Papua bilang, RI tidak pernah berikan dana ke masyarakat kampung,” kata Abraham Atururi di Badan Anggaran DPR.

Masalahnya, dana otsus triliunan rupiah ini bukan dana abadi. Lima belas tahun lagi alokasinya akan berkurang dan berkurang terus hingga nol. Kalau sudah tak ada lagi dana otonomi khusus, sementara pembangunan belum berpihak kepada orang asli Papua, selanjutnya ada iming-iming apa lagi?

OTONOMI DAERAH PAPUA BARAT (2)

Otonomi Khusus Belum Berasa
Rabu, 24 Februari 2010 | 03:15 WIB

Oleh Edna C Pattisina dan Ichwan Susanto

Apa arti dana otonomi khusus bagi masyarakat? ”Tarada. Otsus datang hanya untuk orang-orang besar,” kata James Likman, warga Kampung Susweni, Distrik Manokwari Timur, Papua Barat. 

Sudah hampir 10 tahun kata otonomi khusus (otsus) hanya menjadi retorika bagi masyarakat di kampung James. Tak ada yang berubah. Warga Kampung Susweni tetap harus berjalan turun-naik lembah untuk mengambil air.

Setiap tahun, setiap dana otsus datang, lagi-lagi hanya mendapat janji, air akan langsung mengalir ke rumah mereka. Realisasinya tak kunjung datang. Katanya, instalasi pipa sedang dibangun atau pompanya masih belum cocok. Otsus identik dengan janji kosong. Sama kosongnya dengan gedung puskesmas pembantu Kampung Susweni yang sejak dibangun dua tahun lalu tidak pernah ada petugasnya.

James tak seorang diri. Hampir semua masyarakat Papua Barat yang tak punya akses terhadap birokrasi akan menjawab dengan cerita yang lebih kurang sama. Novel Mandacan, warga Manokwari, menyatakan, ”Kenapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tangkap pejabat Papua yang korupsi yang rumahnya sampai lewat tiang listrik, mobil banyak, handphone sampai 10 di kantong.”

Yuliana Kapisa, penjual pinang di pasar, mengatakan, ”Otsus sudah diambil bos-bos. Sekarang sudah ada kemajuan hanya orang-orang yang duduk di kursi tinggi.”

Berkuasanya putra daerah sebagai birokrat di Papua, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua, rupanya tidak langsung berakibat pada kesejahteraan masyarakat. Padahal, saat ini sekitar 85 persen jabatan eksekutif dan politis dipegang orang Papua asli. Sayangnya, kinerja mereka belum optimal, minimal dari kehadiran.

Seperti pengamatan Kompas, 29 Januari lalu di Kantor Gubernur Papua Barat, saat apel pagi, komandan apel mempertanyakan kehadiran peserta yang hanya 15 persen. Setelah apel, jangan terlalu banyak berharap untuk menemukan karyawan bekerja walaupun absen terisi penuh. Kantor kosong.

”Belajar dari pengalaman, bukan hanya perlu orang Papua, tetapi juga pemimpin yang bermoral, mempunyai kemampuan, dan kecakapan,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Yan Christian Warinussy.

Uang yang datang memang banyak. Pada 2002-2008, ada dana otsus Rp 21,443 triliun untuk Papua dan Rp 1,118 triliun untuk Papua Barat pada 2009. Ini belum termasuk dana lain sehingga total alokasi APBN bagi Papua Barat pada 2010 mencapai Rp 8,086 triliun. Kepada masyarakat, terutama di kampung, ada program pembagian uang Rp 100 juta untuk setiap kampung. Namun, rasa keadilan masyarakat berbicara lain saat melihat pejabat yang lebih sering ada di Jakarta, rumah mentereng yang baru dibangun, serta gaya hidup yang tiba-tiba melonjak.

Wakil Ketua DPRD Papua Barat Jimmy Demianus Itjie, misalnya, mengakui mendesain dan membangun rumah dinasnya dengan biaya Rp 2,7 miliar. Rumah yang halamannya membutuhkan waktu sekitar 12 menit berjalan kaki dari pagar depan sampai belakang ini tak semahal rumah dinas pejabat lain yang berharga Rp 12 miliar dan Rp 9 miliar. ”Kalau nanti rumah dinas ini dihibahkan kepada saya, ya itu syukurlah,” katanya.

Setelah lima tahun menjadi provinsi, Papua Barat belum punya kejaksaan tinggi, pengadilan tinggi, dan polda. Berkaitan dengan dugaan korupsi, kasus yang sempat tersingkap, menguap begitu saja. ”Jika KPK mau ke sini, segeralah isu ingin merdeka mereka angkat,” kata Yan.

Data dugaan korupsi di Kejaksaan Negeri Manokwari merupakan puncak gunung es saja. Di bidang pendidikan, ada dugaan penyalahgunaan dana rehabilitasi ruang kuliah dan aula Sekolah Tinggi Ilmu Hukum tahun 2006. Kasus ini tak terdengar lagi kabarnya setelah dikembalikan ke kejaksaan untuk dilengkapi berkasnya. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan juga diduga mengorupsi pengadaan buku pendidikan pada 2007. Kasusnya masih diselidiki Polres Manokwari. Juga ditemukan kejanggalan dalam anggaran pelaksanaan ujian paket A, B, dan C APBD Papua Barat 2008. Kabar kasus ini pun senyap. Januari 2010, satu-satunya kasus yang masuk ke pengadilan, yaitu kasus korupsi dana block grant 2005, satu terdakwa divonis bebas. Seorang lagi dikenai setahun penjara.

Kasus korupsi terakhir yang menjadi bahan pergunjingan masyarakat adalah dugaan penyalahgunaan APBD sebesar Rp 3,2 miliar dalam pengadaan mobil dinas Pemprov Papua Barat yang disinyalir tidak melalui proses yang seharusnya.

Hanya peduli dana

Bagi Jimmy Demianus Itjie, ini merupakan tanda kegagalan otsus. Semangat otsus adalah memberikan keberpihakan bagi rakyat Papua agar keluar dari kemiskinan dan memiliki kemampuan untuk menentukan nasib sendiri. Namun, kenyataannya, elite di Pemprov Papua Barat hanya peduli pada dana otsus. ”Langsung dibagi dan selalu soal anggaran yang diributkan. Tak jelas apa agenda pembangunan pemda,” katanya.

Ia melihat, apa yang terjadi saat ini adalah eksploitasi orang Papua terhadap sesama orang Papua. Bahkan, pejabat Papua tak memiliki keberpihakan dan empati. Banyak pihak bicara pemekaran kabupaten, bahkan kampung, hanya karena ada elite setempat yang berhubungan dengan garis suku atau keluarga yang ingin berkuasa dan mendapat akses ke dana otsus.

Salah satu contoh yang disampaikan Jimmy sebagai program yang dianggarkan bagi kesejahteraan rakyat, tetapi ditunggangi kepentingan Gubernur, yakni Rencana Strategis Pengembangan Kampung (Respek). Tindakan Gubernur yang membagi-bagikan uang tunai ke kampung hanya untuk pencitraan diri pejabat semata.

Gubernur Papua Barat Abraham Atururi, dalam presentasinya di depan Badan Anggaran DPR, 11 Februari lalu, mengatakan, uang Respek itu ia bagi-bagikan sendiri karena takut dikorupsi pejabat setempat. ”Itu menjelang Pemilu Gubernur 2011,” kata Jimmy.

Salah satu celah korupsi muncul dengan kehadiran Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Sering terjadi klaim berkali-kali terhadap sebuah proyek, dibiayai dana otsus atau dana alokasi umum dan khusus. ”Harusnya ada pemisahan pembukuan di APBD. Jadi, jelas mana yang dari APBN karena kami di DPRD tidak tahu soal proyek dekonsentrasi dari pusat,” kata Jimmy.

Ia mengakui, DPRD Papua Barat juga seharusnya menjadi mekanisme kontrol berkaitan dengan penggunaan anggaran. Namun, masing-masing anggota DPRD mengusung kepentingan partai sehingga sering kali tidak bisa berfungsi dengan baik. Ia mencontohkan, panitia khusus yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan. Tak berapa lama setelah ketua pansus dipanggil Gubernur, ia hanya membuat pernyataan agar dinas memperbaiki prosedur.

Kasus pengadaan alat kesehatan dan obat juga menjadi contoh yang disoroti. Menurut Yan, hal ini menjadi bukti kurangnya kapasitas anggota DPRD sehingga tidak mampu membuat desakan.

Markus Yenu, yang menyatakan diri sebagai Gubernur Daerah Pemerintahan Transisi The West Papua National Authority (WPNA), menyatakan, sejak awal dirinya menolak otsus. Kegagalan otsus, di antaranya, disebabkan tidak adanya perangkat afirmasi dan proteksi untuk memprioritaskan orang Papua lewat peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah khusus. ”Kapal setiap hari masuk bawa pendatang. Apa itu otsus?” kata Markus.

Frans Wanggai, mantan Rektor Universitas Negeri Papua, mengatakan, bukan otsus yang gagal, tetapi orang yang melaksanakan pengaturan keuangan otsus yang gagal. Hal ini terlihat dari porsi untuk pendidikan, masyarakat, dan kesehatan yang belum terdistribusikan secara merata.

”Seharusnya sudah banyak sarjana yang dihasilkan dan jalan yang dibangun,” katanya.

OTONOMI DAERAH PAPUA BARAT (3)

Jangan Putus Masa Depan Anak-anak
Kamis, 25 Februari 2010 | 03:43 WIB

Edna C Pattisina dan Ichwan Susanto

Di sebuah ”ruang kelas”, Yulianus Uroh menuliskan soal-soal Matematika dasar, 3+4 > …, 2+3 > …, kepada delapan murid kelas I SD Persiapan Gueintuy di Manokwari, Papua Barat. Di ruang itu, persis sebelah mereka, lima murid kelas II sibuk mengerjakan soal-soal Bahasa Indonesia.

Duduk membelakangi mereka, lima murid kelas III ngobrol sambil menunggu Yulianus menghampiri mereka. Tembok setinggi dada orang dewasa membatasi ”ruang kelas” yang sebenarnya balai kampung tersebut. Suasananya tak karu-karuan karena orang-orang mondar-mandir di sekeliling mereka.

Namun, suara kendaraan yang lalu lalang tidak mengganggu Marten, murid tercerdas di kelas II yang menggemari Matematika. Saat ditantang menjawab perkalian 5 x 7, murid yang baru belajar perkalian 3 ini berusaha menjumlahkan tujuh jarinya sampai lima kali sehingga terpaksa harus meminjam tangan teman-temannya. Lalu, dengan percaya diri, Marten menjawab ingin jadi presiden. Adapun Amenda Uloh, teman sekelasnya, dengan malu-malu mengatakan ingin menjadi suster.

Yulianus Uroh, guru mereka yang mengaku setiap hari ”kepala sakit”—istilah Uroh—karena harus simultan menangani tiga kelas, dengan mata berbinar bercerita tentang murid-muridnya. Seharusnya ada 60 siswa yang terbagi di tiga kelas. Sayangnya, tidak semua masuk setiap hari karena banyak yang ikut orangtua ke ladang. Kalaupun semua siswa datang, bisa jadi bakal membuat Yulianus bertambah sakit kepala karena harus bergantian mengajar Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PPKN, dan Pendidikan Jasmani di tengah suasana ribut.

Pria yang diberi honor Rp 200.000 sebulan ini sudah tiga tahun mengajar. Sebelumnya, sekolah ini hanya punya seorang guru yang juga merangkap kepala sekolah, Yaya Wonggor. Yaya mengajak Yulianus yang asli warga Gueintuy untuk mengajar di sekolah ini. Sesekali mereka mengajar ketiga kelas itu seorang diri apabila anak Yaya sakit atau Yulianus ada urusan di kampusnya, STIE Maesa, Manokwari.

Situasi serupa di Kampung Gueintuy berulang di kota Manokwari, sekitar 500 meter dari Kampus Universitas Negeri Papua (Unipa) atau tidak sampai 3 kilometer dari Kantor Gubernur Papua Barat. Di SD Inpres 108 Sugeme, Amban, Lis Rumansara, guru honorer yang sudah enam tahun digaji Rp 710.000 per bulan, mengajar perkalian bertingkat 9,72 x 8,32 sambil menggendong anak bungsunya yang berusia 7 bulan.

Di sini, murid-murid kelas I hingga VI berada dalam satu ruangan. Hanya saja, jam masuk mereka dibedakan, kelas I dan II pulang pukul 09.00. Petronela Sesa, yang sudah diangkat menjadi pegawai negeri, mengajar di kelas yang berbeda di ruangan yang sama dengan Lis. Tahun ini, mereka harus bekerja keras mempersiapkan enam siswa untuk ikut ujian nasional. Selain Lis, ada seorang guru lain yang sudah beberapa minggu tidak tampak batang hidungnya.

Kepala SD ini, Budi Sunarso, menunjukkan tiga ruang kelas yang sedang dibangun. Menurut master bidang pendidikan ini, masalah utama bukan pada fisik, melainkan pada jumlah, kualitas, dan konsistensi guru. Bukan rahasia lagi, guru tiba-tiba menghilang begitu saja. Pendidikan di Papua berada dalam lingkaran masalah klasik seputar 3T, yaitu terisolasi, terpencar, dan terpencil.

Walaupun data di atas kertas tak selalu bisa menggambarkan realitas secara telanjang, kita bisa membandingkan data-data yang ada sebagai gambaran umum. Bandingkan saja jumlah murid di SMA sederajat se-Papua Barat dengan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik 2009. Menurut Dinas Pendidikan, jumlah murid SMA per Agustus 2009 mencapai 23.914 siswa. Sedangkan di data BPS, usia 15-19 tahun pada 2008 mencapai 78.000. Katakanlah dengan penyebaran merata, kita mengambil usia 15-17, yaitu tiga perlima dari 78.000, yakni 46.800, berarti ada setengah dari remaja usia 15-17 yang tidak sekolah.

Kenyataan bisa lebih buruk karena di SD Inpres Sugeme, Amban, saja, tingkat presensi hanya 40-50 persen. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua Barat Bernarda BM Henan mengatakan, ”Ada tiga persoalan mendasar dalam pendidikan, yaitu guru penyebaran, kompetensi, serta prasarana.”

Kompetensi guru

Menurut dia, sebenarnya rasio guru dan murid sejak 2007 telah mencapai angka ideal, yaitu 25 : 1 di setiap jenjang dan mata pelajaran. Namun, masalahnya ada pada kompetensi dan persebaran guru. Sedangkan guru yang berasal dari luar Papua kebanyakan guru kontrak.

Setelah sekian tahun ditugaskan dari Jakarta, mereka pulang. Sekolah dan anak-anak harus menunggu lagi beberapa bulan sampai ada guru pengganti. Bernarda memaklumi, apalagi bagi guru-guru yang baru lulus, mereka umumnya merasa berat dengan kondisi geografi Papua. Untuk pengambilan gaji saja yang lewat cabang BRI, guru harus turun ke kota yang bisa memakan waktu berminggu-minggu perjalanan. Untuk beberapa kabupaten, seperti Teluk Bintuni, ada tunjangan profesi kepada guru dan kepala sekolah. Besarnya Rp 1 juta-Rp 5 juta per bulan.

Strategi yang dianggap berdampak jangka panjang adalah meningkatkan kapasitas putra daerah untuk menjadi guru. Masalahnya, belum ada tawaran dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi, seperti Unipa, yang belum menghasilkan guru. Menurut Bernarda, pihaknya sempat mengusahakan pendidikan Akta 4 yang merupakan pelatihan percepatan menjadi guru. Sayangnya, banyak yang melihat program ini sekadar cara memperbaiki nasib.

Untuk prasarana, Papua Barat cukup merasa disulitkan dengan adanya standardisasi nasional untuk prasarana yang tidak memerhatikan lokalitas, bahkan budaya setempat. Misalnya, biaya pembangunan ruang kelas sesuai standar Peraturan Menteri Pendidikan Nasional di Jawa adalah Rp 75 juta. ”Di sini, dengan bangunan yang sama, bisa memakan biaya Rp 100-Rp 300 juta karena transportasi,” kata Agustinus Sroyer, Kepala Bidang Dasar dan Menengah Dinas Pendidikan Papua Barat.

Ironisnya, dana untuk pendidikan malah minim. Padahal, pendidikan menjadi salah satu prioritas sesuai UU No 21/2001 yang membuat ”kekhususan” untuk otonomi ini. Pada 2009, dana untuk dinas pendidikan Rp 168 miliar, tidak sampai 10 persen dari total anggaran. Pada 2010, lebih parah lagi. Dengan alasan banyak proyek yang belum terealisasi, defisit anggaran, dan pembagian dana ke daerah, anggaran dinas pendidikan di APBD hanya Rp 77,19 miliar.

Frans Wanggai, mantan Rektor Unipa, mengatakan, konsep pendidikan di Papua Barat tidak bisa mencomot mentah-mentah konsep di Jawa. Masih banyak suku-suku yang nomaden. ”Bangun dulu kampung yang sesuai dengan mereka, baru bangun infrastruktur sekolah,” katanya.

Boleh jadi karena kondisi itulah, Marten, murid terpandai di kelas II SD Persiapan Gueintuy, tidak selesai menghitung perkalian 5 x 7. Namun, sesungguhnya dia tidak gagal. Justru kitalah yang gagal memberikan pendidikan kepada Marten dan kawan-kawannya demi menggapai masa depan yang lebih baik.

OTONOMI DAERAH PAPUA BARAT (4)

Jakarta (Masih) Utang
Sabtu, 27 Februari 2010 | 03:39 WIB

Ichwan Susanto dan Edna C Pattisina

Kondisi Papua Barat, termasuk Papua keseluruhan, hingga hari ini masih berkisah soal ketertinggalan. Pemerintah pun masih berutang kepada Papua. Ternyata, utang tak bisa dibayar dengan guyuran uang. Sebab, utang itu adalah rasa keadilan, kemanusiaan, dan kehidupan layak.

Ketika masyarakat Papua ingin membuka mulut dan beraksi lebih keras menagih hal-hal itu, mereka bisa jadi berhadapan dengan moncong senjata. Alasannya, mereka dikira menggelar aksi separatis.

Otonomi khusus adalah angin surga yang ditawarkan pemerintah ketika orang Papua meneriakkan ”M” (merdeka) pada Kongres Papua 2000. Di atas kertas, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua mengamanatkan bahwa warga Papua harus diberikan layanan kesehatan dan pendidikan bermutu dengan beban masyarakat serendah-rendahnya. Pemerintah juga mengakui lambang daerah, seperti bendera dan lagu, sebagai simbol kultural dan jati diri orang Papua. Namun, banyak orang Papua menilai pemerintah kerap mengingkari kata-katanya sendiri.

Viktor Alex (38) sehari-hari bekerja sebagai pesuruh di Kantor Gubernur Papua. Lulusan SMP itu bukan aktivis. Ia bahkan tidak ikut organisasi yang dengan jelas menggariskan kemerdekaan sebagai agenda perjuangan. Namun, tiba-tiba pada 4 April 2009, ia menaikkan bendera bintang kejora di depan rumahnya. Bendera itu dibuatnya sendiri dari sehelai kain yang ia cat. Ia pun ditangkap dan kini disidangkan dengan tuduhan makar.

”Sudah keinginan seperti itu. Menanti saja saatnya,” katanya dari sela-sela jeruji di Pengadilan Negeri Manokwari, Selasa (26/1). Dalam ingatannya selalu berkelebat cerita kakeknya, Johan, tentang hak orang Papua di tanahnya sendiri. Bekerja di kantor gubernur, ia melihat bagaimana uang tidak pernah sampai ke rakyat, tetapi hanya kepada para pejabat. ”Otsus hanya untuk Papindo (Papua Indonesia) saja,” katanya.

Setelah dua tahun UU No 21/2001 diberlakukan, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Presiden No 1/2003 tentang pemekaran Provinsi Papua. Padahal, jelas dalam Pasal 76 UU No 21/2001 disebutkan, pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Rakyat Papua merasa ditelikung Jakarta.

Dua minggu setelah inpres, Provinsi Irian Jaya Barat diresmikan dengan Abraham Octovianus Atururi sebagai gubernur. Abraham Atururi adalah pensiunan brigadir jenderal marinir dan pernah menduduki jabatan di Badan Intelijen Strategis TNI. Setahun kemudian, Mahkamah Konstitusi (MK) menggugurkan dasar hukum pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, baik UU No 45/1999 maupun Inpres No 1/2003. Namun, dengan alasan provinsi itu telah memiliki alat pemerintahan, seperti DPRD, MK merekomendasikan kepada pemerintah guna membuat dasar hukum lain untuk Provinsi Irian Jaya Barat.

Bukan sekadar dana

Di mata mereka, kesetiaan pemerintah pusat terhadap otsus hanya pada pemberian dana. Padahal, pemberian uang tanpa kesiapan masyarakat sipil dan sistem sama saja dengan menciptakan peluang korupsi.

Pemerintah pusat dinilai kurang melakukan tindakan afirmatif dalam membentuk peraturan daerah provinsi (perdasi) dan peraturan daerah khusus (perdasus) untuk mengaplikasikan jiwa dari UU itu ke dalam bentuk teknisnya. Padahal, perdasi dan perdasus-lah yang mengatur hal-hal yang membuat otonomi Papua menjadi khusus, seperti pendidikan, hak ulayat, kesehatan, adat, dan pengelolaan sumber daya alam. ”Kita butuh legal drafting (penyusunan undang-undang) dari Kementerian Dalam Negeri dan Menko Polhukam,” kata Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari.

Hal senada disampaikan Jimmy Demianus Itjie, Wakil Ketua DPRD Papua Barat. Menurut dia, tidak adanya peraturan pemerintah membuat perdasi dan perdasus tidak kunjung terealisasi. Ini ditambah para pejabat di Papua Barat juga dinilai setengah hati. ”Kita bisa bikin tim ahli yang berasal dari lembaga-lembaga pendidikan, seperti UI, ITB, dan Universitas Negeri Papua, untuk menyiapkan draf PP,” katanya.

Di sisi lain, inkonsistensi pemerintah pusat dalam implementasi otsus yang membuat orang Papua semakin termarjinalisasi justru jadi amunisi dalam mempertajam konflik dan ketidakpercayaan antarkedua belah pihak. Akibat ketidakpuasan itu, masalah-masalah lama akhirnya muncul kembali ke permukaan, seperti sejarah integrasi Papua, identitas kultural-politik, serta pelanggaran HAM dan kekerasan.

”Orang Papua butuh perlindungan hak-hak dasar, perlindungan masyarakat adat, penyelesaian masalah HAM, tindakan afirmatif dalam bidang pendidikan dan kesehatan, serta pengakuan atas simbol-simbol,” kata Yan.

Ketua Dewan Adat Papua Wilayah 3 Kepala Burung Barnabas Mandacan mencontohkan hak tanah ulayat yang berbenturan dengan hukum positif negara. Badan Pertanahan Nasional (BPN) sering mengeluarkan sertifikat tidak berdasarkan hak waris. Akibatnya, rakyat Papua yang rugi. ”Kami lahir dan ada sebelum pemerintah ada,” kata Barnabas.

Karena kebutuhan rakyat Papua tidak kunjung terpenuhi itu membuat mereka memandang wajah Indonesia yang lebih ”keras”, seperti tipu daya sampai wajah pos-pos militer yang garang. Markus Yenu, Gubernur Pemerintahan Transisi dari West Papua National Authority (WPNA), mengatakan, otsus terbukti gagal, hak-hak dasar masyarakat Papua tidak diakomodasi lewat regulasi dan afirmasi. MRP, katanya, sebagai gigi palsu yang bisa dicabut dan dipasang kapan saja. Menurut Markus, banyak intelektual Papua yang tengah menuntut ilmu di luar negeri siap membangun Papua.

Bagi Markus, banyaknya aparat militer dan polisi di Papua Barat sebagai bentuk intimidasi agar rakyat tak berani menyuarakan aspirasinya. Kematian Panglima Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka Wilayah Timika Kelly Kwalik, katanya, malah lebih menyalakan api perlawanan garis keras militer gerakan itu.

Sekretaris Jenderal West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) Melkianus Bleskadith juga mengatakan, pihaknya siap berdialog dengan pemerintah.

Menurut Yan, keengganan pemerintah menyelesaikan persoalan-persoalan HAM justru memperuncing rasa saling tidak percaya. ”Pemerintah pusat jangan berpikir, kita sudah kasih uang. Beres sudah,” kata Yan. Tentu saja tidak karena Papua adalah bagian dari Indonesia yang elok.

OTONOMI DAERAH PAPUA BARAT (5-HABIS)

Anggaran Kesehatan yang Diturunkan
Senin, 1 Maret 2010 | 03:09 WIB

Dokter Arnold Tiniap, Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Papua Barat, hanya tersenyum kecut dan mengangkat bahu saat ditanya bagaimana pada 2010 timnya akan bekerja melawan HIV/AIDS dan malaria yang dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. Dia tidak ingin berkomentar.

Pasalnya, dia baru tahu akhir Januari lalu anggaran pemberantasan penyakit menular turun hingga 50 persen dari Rp 10 miliar (2009) menjadi Rp 5 miliar (2010). Bukan itu saja, berdasarkan data Bappeda Papua Barat, anggaran untuk semua Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat turun dari Rp 100,992 miliar (2009) menjadi Rp 70,278 miliar (2010). Alasannya, ada proyek-proyek belum selesai yang dibayar dalam Anggaran Tahun 2009.

Padahal, terjadi peningkatan dua penyakit utama di Papua Barat, yaitu HIV/AIDS dan malaria. Hingga Juni 2009 tercatat ada 1.589 kasus HIV/AIDS baru. Jumlah di atas kertas ini di lapangan bisa berkembang puluhan kali lipat karena kebanyakan pengidap HIV/AIDS sendiri tidak tahu dia sudah tertular, karena penyakitnya biasa muncul dalam bentuk lain. Sebab lain, pengidap HIV/AIDS biasanya menjaga kerahasiaan karena takut dikucilkan.

Masih berdasarkan data Dinas Kesehatan Papua Barat 2006, secara nasional estimasi proporsi orang yang terinfeksi HIV per 100.000 penduduk menempati urutan kedua setelah Provinsi Papua.

Angka HIV/AIDS ini menduduki urutan ke-8 dari sembilan penyakit yang paling banyak diderita masyarakat Papua Barat. Urutan pertama adalah malaria tropika dan tertiana dengan 54.961 kasus. Dilanjutkan dengan infeksi saluran pernapasan akut seperti flu, infeksi saluran pencernaan seperti diare dan kolera, hepatitis yang sering disebabkan oleh malaria yang terus-menerus, tuberkulosis, HIV/AIDS, dan urutan kesembilan adalah penyakit kelamin.

Berlawanan

Penurunan anggaran ini berlawanan dengan semangat otonomi khusus untuk memberikan fasilitas kesehatan bagi rakyat Papua. Penanganan selama ini bukan berarti juga maksimal. Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Christian Warinussy menganggap penanganan HIV/AIDS saat ini hanya sebatas sosialisasi dan penyuluhan. Upaya pemberantasan dan pengobatan tidak terdengar.

Salah satu kendala pencegahan HIV/AIDS berkaitan dengan data. Contoh, apa yang terjadi di puskesmas Distrik Masni. Kepala puskesmas, dokter Amos Sayori, menyatakan, pihaknya tak mendapat umpan balik dari rumah sakit umum daerah berkaitan dengan apakah pasien yang dirujuk terjangkit HIV/ AIDS atau tidak. Walaupun ia menyampaikan pengertiannya bahwa ini berhubungan dengan HAM, tetapi hal ini menyulitkan pemantauan. ”Kami jadi tidak bisa mengobservasi karena ketika ada pasien yang pulang dari RSUD, kami tidak tahu rekam medisnya,” kata dr Amos.

Penanganan HIV/AIDS masih belum jelas konsepnya. Di satu sisi ada upaya untuk melindungi orang dengan HIV/AIDS dari pandangan buruk masyarakat. Namun, di sisi lain upaya pencegahan hanya bisa dilakukan lewat penyadaran masyarakat.

Harus diakui, gaya hidup masyarakat yang mengakibatkan penularan HIV/AIDS begitu cepat. Ini berhubungan langsung dengan pendidikan. ”Sebanyak 90 persen penyebab orang tertular HIV/AIDS adalah hubungan seks, sementara informasi pentingnya penggunaan kondom hanya di kota-kota saja,” kata Arnold.

Bagi Gubernur The West Papua National Authority Markus Yenu, upaya pemerintah yang setengah-setengah dalam menangani HIV/AIDS adalah sebuah bentuk pembiaran yang disengaja. Baginya, ini menjadi salah satu bagian dari rencana besar Pemerintah Indonesia untuk memarjinalkan orang Papua Barat di tanahnya sendiri.
Masalah kesehatan di Papua merupakan akibat langsung dari rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan. Nilainya terlalu tinggi untuk dibiarkan.

Masalah kesehatan di Papua Barat sangat luas rentang dan variasinya. Kepala Dinas Kesehatan dr Djaman Abdullah mengatakan, kebanyakan penyakit adalah penyakit penyerta kekurangan gizi. Contohnya tuberkolosis. Kondisi geografis jadi kendala sehingga jaringan puskesmas dan puskesmas pembantu tidak banyak yang bisa diakses masyarakat. Kalaupun ada puskesmas pembantu, kemampuannya sebatas memeriksa tensi darah saja. Masalah utama lain adalah jumlah dan kualitas petugas kesehatan.

Permasalahannya, lagi-lagi otonomi khusus sudah berjalan bertahun-tahun. Jangankan kekhususannya, kewajiban pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak dasar, seperti kesehatan dan kelangsungan hidup, saja tidak dipenuhi. Anggaran malah diturunkan.

(Ichwan Susanto dan Edna C Pattisina)


Source: www.batukar.info

1 komentar:

Posting Komentar